IMPLEMENTASI PENERAPAN WAJIB LABEL
SNI PADA PRODUK PELUMAS TERKAIT PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARISASI NASIONAL INDONESIA
Makalah
ini disusun untuk memenuhi nilai Ujian Akhir Semester
Mata
Kuliah Hukum Perindustrian
Dosen
Pengampu : Dona
Budi Kharisma S.H.,
M.H.
Disusun
Oleh:
Alexander Ivan C E0011013
Surya Mahendra S E0011306
Yoga Fais
Luthfianto E0011335
Agmona Lisbenk P E0012016
Elza Sylvania P E0012132
Fida Amira E0012154
Rizqiawan Wisnu
P E0012340
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masyarakat
sebenarnya sangat memerlukan standar, hal ini karena berhubungan dengan masalah
sosial dan ekonimi dalam kehidupan manusia termasuk kebutuhan akan sebuah produk
yang berkualitas, kompatibel, aman, dan sesuai dengan ketuntuan. Dari segi
perekonomian dan perdagangan internasional dengan adanya standar, produk yang
dipasarkan pasarkan tentu memiliki kualitas dan dapat bersaing dengan produk
yang tidak memiliki standar sehingga dapat meningkatkan peran perekonomian.
Kebijakan standardisasi ditetapkan oleh pemerintah dan bertujuan serta
bermanfaat untuk mengurangi risiko, meningkatkan efisiensi ekonomi secara
menyeluruh, memberikan perlindungan terhadap pasar secara berkeadilan,
perlindungan konsumen, meningkatkan kepercayaan konsumen, mengelola keanggotaan
pada organisasi standardisasi internasiona dan regional.
Pada
bidang perindustrian, sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap industri
dalam negeri sekaligus perlindungan terhadap konsumen pengguna produk,
pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi teknis berupa pemberlakuan penerapan
Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib. Produk terkait selanjutnya
disebut sebagai produk SNI Wajib. Pemberlakuan SNI secara wajib berarti semua
produk SNI terkait yang dipasarkan di Indonesia harus memenuhi persyaratan SNI,
baik itu berasal dari produksi dalam negeri maupun impor. Pembuktian atas
kesesuaian terhadap persyaratan SNI dilakukan melalui mekanisme Sertifikasi
Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPTSNI). Sertifikat dikeluarkan oleh Lembaga
Sertifikasi Produk (LSPro) yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi
Nasional. Pengamatan Badan Standardisasi Nasional (BSN) tahun 2006 memberikan
gambaran bahwa hanya 19,6% SNI yang diduga digunakan di pasar[1].
Hal
ini mengindikasikan bahwa SNI belum bisa diterima secara efektif oleh kalangan
industri. Selain itu sering ditemukan produk bertanda SNI yang mutunya tidak
sesuai dengan persyaratan SNI. Agar supaya pemberlakuan SNI Wajib dapat
berjalan secara efektif, diperlukan kajian secara komprehensif terhadap standar
teknis itu sendiri dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi efektifitas
pemberlakuannya, seperti aspek regulasi, manajemen, institusi dan dunia usaha
(ekonomi). Keberhasilan program SNI dapat diukur melalui tingkat penerapannya
di lapangan, misalnya digunakan sebagai acuan dalam mutu produk, proses
produksi, metode uji, atau acuan dalam pendidikan/ pelatihan. Penerapan SNI
perlu terus digalakkan baik oleh pemerintah maupun pihak terkait lainnya
sehingga mutu produk di Indonesia semakin baik dan masyarakat terlindungi.
SNI yang telah dirilis oleh BSN ternyata belum mampu
dijalankan sepenuhnya oleh pelaku industri dalam negeri dibuktikan dengan
penerapan SNI yang hanya sekitar 20% dari total SNI yang ada. Oleh sebab itu,
BSN menerapkan Genap SNI yang juga mendukung Perpres No.54 Tahun 2010 yang
kemudian diperbarui menjadi Perpres No.70 Tahun 2012 yang intinya mensyaratkan
penggunaan produk-produk dalam negeri yang berstandar dalam pengadaan
barang/jasa di sektor pemerintah[2].
Namun sayangnya, evaluasi terhadap program tersebut belum dilakukan sehingga
belum diketahui seberapa efektif program yang sudah dijalankan. Oleh sebab itu
dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas pemberlakuan wajib label SNI
terhadap produk pelumas yang selama ini belum berjalan dengan baik, dikarenakan
banyaknya produk pelumas yang belum memiliki label SNI.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana penerapan Standardisasi
Nasional terhadap suatu produk industri yang ada di Indonesia?
2.
Bagaimana implementasi penerapan label
wajib Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) pada produk pelumas yang ada di
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penerapan
Label Standar Nasional Indonesia Terhadap Produk Industri Yang Beredar Di
Indonesia
Standar
adalah dokumen yang memuat ketentuan dan/atau karakteristik dari suatu produk
yang dibuat secara konsensus dan ditetapkan oleh lembaga berwenang. Sedangkan
dalam PP No. 102 Tahun 2000, yang dimaksud standar adalah spesifikasi teknis
atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun
berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan
syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan
masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Standar
Nasional Indonesia (SNI) dibuat oleh pemerintah Indonesia sebagai standar
nasional hasil consensus para pemangku kepentingan. SNI ini ditetapkan oleh
Badan Standar Nasional (BSN)[3].
Pada
prinsipnya standar dilakukan secara sukarela, khususnya dipergunakan oleh
produsen sebagai acuan dalam pengendalian mutu internal atau untuk kepentingan
promosi bahwa produk yang diproduksi memiliki kualitas baik dan terjamin.
Penerapan dan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia adalah keputusan pimpinan
instansi teknis yang berwenang untuk memberlakukan Standar Nasional Indonesia
secara wajib terhadap produk apabila dipandang bahwa produk menyangkut dengan
keselamatan, keamanan, kesehatan dan kelestarian lingkungan (K3l)[4].
SNI bertujuan untuk memperlancar transaksi perdagangan dan melindungi
kepentingan konsumen serta meningkatan daya saing produk Indonesia di pasar
global, karena pasar global menekankan pentingnya menerapkan standar mutu
produk (BSN, 2005).
SNI
adalah satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. SNI
dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh BSN. SNI adalah dokumen
berisi ketentuan teknis merupakan konsolidasi iptek dan pengalaman, aturan,
pedoman, atau karakteristik dari suatu kegiatan atau hasilnya yang dirumuskan
secara konsensus untuk menjamin agar suatu standar merupakan kesepakatan pihak
yang berkepentingan dan ditetapkan berlaku di seluruh wilayah nasional oleh BSN
utuk dipergunakan oleh pemangku kepentingan dengan tujuan mencapai keteraturan
yang optimum ditinjau dari konteks keperluan tertentu. Standar memiliki
beberapa kriteria antara lain:
1.
SNI tersebut harmonis dengan standar
internasional dan pengembangannya didasarkan pada kebutuhan nasional termasuk
industri.
2.
SNI yang dikembangkan untuk tujuan
penerapan regulasi teknis yang bersifat wajib didukung oleh infrastruktur
penerapan standar yang kompeten sehingga tujuan untuk memberikan perindungan
kepentingan, keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat, atau pelestarian
fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan ekonomi dapat tercapai secara
efektif dan efisien.
3.
Infrastruktur yang diperlukan untuk
menunjang penerapan standar tersebut memiliki kompetensi yang diakui di tingkat
nasional/regional/internasional.
Salah
satu tugas utama BSN adalah menetapkan proses perumusan suatu standar SNI.
Perumusan standar oleh BSN mengacu pada aturan PSN 01-2007 tentang Pengembangan
Standar Nasional Indonesia yang diacu dari ISO/IEC Directive Part 1: 2004, Procedure for the Technical Work. Proses
pengembangan standar nasional oleh BSN direkomendasikan dan dilaksanakan sesuai
PNPS (Program Nasional Perumusan SNI) dengan mengacu pada ketentuan dalam
beberapa pedoman serta memperhatikan pula ketentuan PSN (Pedoman Standardisasi
Nasional) beserta revisi-revisinya serta kepustakaan lain yang relevan. Standar
harus lengkap dalam batas lingkup yang ditentukan, konsisten, jelas, dan
akurat. Pedoman-pedoman tersebut diatas dimaksudkan agar tercipta keseragaman
dan keteraturan dalam proses pengembangan standar yang selaras dengan praktek
internasional[5].
Pada
dasarnya, semua bentuk kegiatan, jasa dan produk yang tidak memenuhi ketentuan
Standar Nasional Indonesia (SNI) diperbolehkan dan tidak dilarang. Meskipun
begitu, kita juga tahu agar produk dalam negeri bisa bersaing secara sehat di
dunia internasional maka sangatlah diperlukan penerapan SNI. Pemberlakuan SNI
terhadap semua bentuk kegiatan dan produk dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Andaikata
SNI ini diterapkan oleh semua bentuk kegiatan dan produk maka sangatlah
mendukung percepatan kemajuan di negeri ini. Seperti halnya di negara-negara
eropa yang produk-produknya memenuhi standar nasional bahkan internasional. Ketentuan
mengenai standardisasi nasional telah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No.
102 Tahun 2000 berisi tentang Standardisasi Nasional yang ditetapkan oleh
Presiden RI pada tanggal 10 November 2000. Ketentuan ini adalah sebagai
pengganti PP No. 15/1991 tentang Standardisasi Nasional Indonesia dan Keppres
No. 12/1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional
Indonesia.
Pada prinsipnya tujuan dari standardisasi nasional
adalah[6]
:
1.
Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku
usaha, tenaga kerja dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan,
kesehatan maupun kelestarian fungsi lingkungan hidup.
2.
Membantu kelancaran perdagangan.
3.
Mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam
perdagangan.
4.
Beberapa
point yang berkaitan dengan penerapan SNI adalah :
5.
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau mengedarkan
barang/jasa yang tidak memenuhi SNI wajib;
6.
Pelaku usaha yang sudah memperoleh sertifikat produk
atau tanda SNI dilarang memproduksi dan mengedarkan barang/jasa yang tidak
memenuhi SNI.
7.
SNI dikenakan sama, baik untuk produksi dalam negeri
maupun impor;
8.
Barang/jasa impor yang SNI-nya diberlakukan wajib
harus dilengkapi sertifikat :
a. diterbitkan
lembaga sertifikasi atau laboratorium yang diakreditasi KAN;
b. atau lembaga
atau laboratorium negara pengekspor yang diakui KAN;
c. pengakuan
oleh KAN didasarkan pada perjanjian bilateral atau multilateral.
9.
Bila Barang/jasa impor tidak dilengkapi
sertifikat, pimpinan instansi teknis dapat menunjuk lembaga sertifikasi/laboratorium
baik diluar negeri/dalam negeri yang telah diakreditasi KAN untuk melakukan
sertifikasi;
10.
Pemberlakuan SNI wajib dinotifikasikan oleh BSN ke WTO
2 bulan sebelum diberlakukan secara efektif;
11.
BSN menjawab pertanyaan dari luar negeri setelah
mendapat masukan dari instansi teknis;
12.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberlakuan SNI
diatur dengan keputusan pimpinan instansi teknis yang berwenang.
B.
Analisis
Mengenai Implementasi Penerapan Wajib Label SNI Terhadap Produk Pelumas Yang
Beredar Di Indonesia
Pertumbuhan
penggunaan kendaraan bermotor masyarakat indonesia selalu mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Seiring dengan perkembangan tersebut, tentu kebutuhan akan
minyak pelumas juga akan semakin bertambah. Diprediksikan, lebih dari 650 juta
liter pelumas pertahun dibutuhkan oleh konsumen Indonesia. Hal ini dikarenakan
fungsi dari minyak pelumas yang sangat penting dalam merawat mesin dan
menentukan lamanya kenderaan itu dapat bertahan.
Dengan
keadaan yang demikian tersebut, maka persaingan untuk memasarkan minyak pelumas
di Indonesia tentu saja akan semakin marak dengan melihat pangsa pasar yang
cukup menjanjikan. Apalagi setelah diberlakukannya surat keputusan presiden Nomor
21 Tahun 2001 tentang Penyediaan dan Pelayanan Pelumas maka Pertamina tidak
memiliki hak monopoli lagi terhadap suplai minyak pelumas ke dalam pasar
domestik dan minyak pelumas asing dapat masuk ke pasar domestik melalui
importir. Minyak pelumas impor dapat masuk ke pasar Indonesia tanpa harus
meminta izin dari Pertamina, cukup dengan memperoleh Nomor Pelumas Terdaftar
(NPT). Berdasarkan peraturan menteri energi dan sumber daya mineral No. 053
Tahun 2006 tetntang wajib daftar pelumas yang dipasarkan di dalam negeri, pada
pasal 3 menjelaskan bahwa “standar dan mutu (spesifikasi) pelumas disusun
dengan mengacu pada karakteristik dan parameter standar nasional Indonesia
(SNI) pelumas.” Namun dalam kenyataannya, hingga saat ini Indonesia belum
memiliki standar nasional Indonesia pelumas yang seharusnya dijadikan acuan
untuk mengeluarkan NPT.
Di
Indonesia terdapat 19 LS-Pro (lembaga sertifikasi produk) yang telah
diakreditasi oleh KAN (Komite Akreditasi Nasional) untuk melakukan kegiatan
sertifikasi produk penggunaan tanda SNI. Tersedia pula 21 laboratorium penguji
untuk melakukan pengujian standar minyak pelumas yang hingga saat ini belum
dimanfaatkan. Hal tersebut dibuktikan dengan beredarnya 220 merek pelumas yang
tidak satupun melalui proses pengecekan/sertifikasi kesesuaian produk SNI
karena belum ada acuan SNI. Selain itu, sedikitnya 50% dari 1,2 juta kiloliter
produk pelumas kenderaan bermotor yang beredar di pasaran bermutu rendah karena
tidak adanya standar yang jelas terhadap produk lokal maupun impor yang beredar
di pasaran minyak pelumas Indonesia. Ditambahkan lagi dengan adanya pemalsuan
minyak pelumas yang beredar sehingga dapat merugikan konsumen.
Data-data
menunjukkan bahwa sebanyak 50 sampai 60 persen pelumas yang beredar di
Indonesia adalah palsu. Hal tersebut merupakan hasil dari investigasi MIAP
(masyarakat Indonesia anti pemalsuan). Hingga kini hampir semua merek pelumas
di Indonesia dipalsukan. pelumas palsu tersebut separuh lebihnya atau mencapai
60% beredar di pulau Jawa sebagai pasar yang paing besar. Oknum yang melakukan
pemalsuan tersebut tidak hanya memalsukan produk pelumas buatan dalam negeri
saja tetapi juga beberapa pelumas impor yang laku di pasaran. Motif pemalsuan
juga semakin beragam dari mulai mencampur pelumas asli dengan zat aditif,
mengolah atau memasak kembali pelumas bekas, hingga mengemas pelumas palsu
dengan menggunakan kaleng bekas suatu merek terkenal ataupun menempeli kemasan
dengan stiker registrasi palsu. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh
LPEM FE-UI dan MIAP pada tahun 2005, menunjukkan total kerugian yang dialami
negera akibat pemalsuan pelumas mencapai Rp. 50 Miliar. Angka tersebut belum
termasuk kerugian lain di antaranya hilangnya kesempatan kerja bagi ratusan
orang, kerusakan mesin dan lain-lain. Meski pemalsuan pelumas terjadi di hampir
semua negara tetapi tingkat pemalsuan di Indonesia menduduki peringkat 2-3 di
dunia setelah China.[7]
Pemberian
label nomor pelumas terdaftar (NPT) yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 1997
dan wajib dilakukan oleh pemilik merek dianggap masih belum efektif untuk
menekan angka pemalsuan pelumas. Sebab, terbukti sampai kini banyak produk
pelumas berkualitas rendah terus beredar di Indonesia. Disamping itu, NPT tidak
dapat dinotifikasi ke WTO. Tentu, sangatlah berbeda dengan SNI wajib. Jadi wajar
bila kewajiban pencantuman NPT di setiap produk masih dipandang sebelah mata
oleh kalangan produsen pelumas. Salah satu upaya memberantas pelumas bermasalah
adalah dengan menerbitkan standar nasional Indonesia untuk produk minyak
pelumas. Bila pelumas diwajibkan mendapat SNI, maka pelumas ilegal yang
dilegalkan dengan NPT praktis bisa dikurangi.
Pencantuman NPT pada setiap produk oli merupakan ketentuan dari
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas) yang diberlakukan sejak tahun
1998. Gunanya yakni untuk mengatur produk pelumas yang beredar di Indonesia,
salah satunya terkait dengan kualitas produk yang dipasarkan. Persoalannya
untuk memperoleh NPT itu lamanya bukan main, bisa enam bulan, bahkan satu
tahun. Demi mendapatkan NPT, untuk satu sample produk harus disetor Rp 4
juta. Tes untuk mendapatkan NPT bagi minyak pelumas itu meliputi uji
fisik, kimia, dan kinerja oli.
Dalam uji fisik (physical property) diambil data mengenai berat
jenis, kekentalan, viscosity index, titik nyala, titik beku, warna, serta
kemudahan pelumas mengalir di suhu rendah. Dalam uji kimia (chemical test), data yang diambil di antaranya adalah kandungan
abu, kandungan logam, dan kandungan zat additive. Tiap produsen mesti
mendaftarkan semua produk olinya yang akan dilempar ke pasar, mengingat banyak
varian produk yang diproduksi untuk jenis kendaraan yang berbeda. Apabila tidak
lolos uji ini, produk oli tadi harus mengulangi proses ini dari awal sampai
lolos sesuai ketentuan yang disyaratkan.
Adapun mekanisme pengurusan NPT, pertama-tama adalah membuat
pengajuan kepada Dirjen Migas. Permohonan itu kemudian diteruskan ke Lembaga
Minyak dan Gas (Lemigas) untuk diuji. Selanjutnya keluar rekomendasi atas
produk tersebut dari Dirjen Migas. Proses pengujian tersebut melalui sidang dan
pengujian mutu berdasarkan spesifikasi produknya. Sesungguhnya, proses
untuk mendapatkan NPT hanya memerlukan waktu 2 bulan-3 bulan saja. Hal itu
sesuai dengan SK dari Dirjen Migas bahwa lamanya proses untuk mendapatkan NPT
dari sejak pengambilan sample hanya 2 bulan[8].
Di sisi lain, pengawasan dari pemerintah sendiri cukup longgar,
sehingga banyak produsen nekat menjual oli tanpa NPT. Tanpa nomor registrasi
itu, produk mereka tetap laku di pasar. Ciri umum oli ilegal itu sudah pasti
tidak mencantumkan NPT pada kemasannya. Pada kemasan kecil (lithos/literan),
nomor registrasi itu ditempatkan di bodi kemasan. Sedangkan untuk kemasan
berbentuk drum, NPT dicantumkan di atas dan samping drum. Jika ada oli
yang harganya murah, patut dicurigai itu pelumas ilegal. Harga oli tanpa NPT
jauh lebih murah dibandingkan dengan yang dilengkapi NPT. Hal itulah yang
meresahkan produsen oli ber-NPT. Bisa-bisa, oli mereka tidak laku di pasaran.
Oleh karena itulah kami menyarankan pemerintah mengeluarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk oli yang beredar di Indonesia.
Apalagi, mutu produk minyak pelumas yang telah memperoleh NPT tak dapat dijamin
secara konsisten. Sebab, pemohon boleh mengajukan sample produknya sampai tiga kali, hingga
lolos tes.
Penetapan
standar baku mutu pelumas dimaksudkan untuk mendukung terwujudnya jaminan mutu
barang, jasa, proses, sistem atau personal minyak pelumas sehingga dapat
memberikan kepercayaan kepada pelanggan dan pihak terkait bahwa suatu
organisasi, individu, barang, dan/atau jasa yang diberikan dalam hal ini minyak
pelumas telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Penerapan standar baku mutu
juga dimaksudkan untuk menjamin peninkatan produktivitas, daya guna dan hasil
guna.
Penerapan
standar baku mutu pelumas dimaksudkan sebagai rujukan dalam penerapan standar
nasional Indonesia (SNI) pelumas. Dalam hal penentuan standar baku mutu minyak
pelumas yang direkomendasikan melalui suatu keputusan menteri yang dikeluarkan
oleh meteri energi dan sumber daya mineral (ESDM), dengan memperhatikan
perlindungan terhadap konsumen, tenaga kerja, dan masyarakat dalam hal
keselamatan, keamanan, kesehatan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Oleh
karena itu, standar baku mutu perlu ditetapkan terlebih dahulu sebagai patokan
dalam menstandarisasi pelumas yang akan beredar di pasaran Indonesia.
Dalam UU No.
8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen, tepatnya pasal 29 -30 diterangkan
mengenai pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Begitu pun pada PP No. 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Nasional Indonesia
pada pasal 22-23 yang menerangkan bahwa pembinaan dan pengawasan standarisasi,
baik itu dalam kaitannya dengan pembinaan proses standarisasi maupun terhadap
pengawasan pada pelaku usaha yang telah mendapatkan standarisasi produk. Adanya
kesamaan dalam hal pembinaan dan pengawasan pada kedua lembaga itu memberikan
korelasi bahwa dengan adanya koordinasi pada lembaga standarisasi dan lembaga
perlindungan konsumen dapat mengefisienkan kinerja kedua lembaga dalam
menjalankan fungsi pengawasan serta pembinaan terhadap minyak pelumas.
Dengan demikian tampak jelas bahwa
dengan adanya standar nasional Indonesia (SNI) maka tingkat pemalsuan pelumas
yang terjadi di Indonesia akan berkurang dengan melihat standar yang diterapkan
dan lembaga pengawas yang mengawasi pelaksanaan standarisasi tersebut sehingga
konsumen dapat lebih terlindungi dari pelumas dengan mutu yang rendah ataupun
pelumas dengan merek palsu demi mencapai Indonesia yang maju dan berkembang
menuju arah yang lebih baik.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Pemberlakuan dan penerapan SNI terhadap semua bentuk
kegiatan dan produk dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, keamanan
negara, perkembangan ekonomi nasional dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Andaikata
SNI ini diterapkan oleh semua bentuk kegiatan dan produk maka sangatlah
mendukung percepatan kemajuan di negeri ini. Seperti halnya di negara-negara
eropa yang produk-produknya memenuhi standar nasional bahkan internasional.
Ketentuan mengenai standardisasi nasional telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah RI No. 102 Tahun 2000 berisi tentang Standardisasi Nasional
yang ditetapkan oleh Presiden RI pada tanggal 10 November 2000.
2.
Wacana diwujudkanya penetapan label SNI terhadap
produk Pelumas dimaksudkan untuk mendukung terwujudnya jaminan mutu barang,
jasa, proses, sistem atau personal minyak pelumas sehingga dapat memberikan
kepercayaan kepada pelanggan dan pihak terkait bahwa suatu organisasi,
individu, barang, dan/atau jasa yang diberikan dalam hal ini minyak pelumas
telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Penerapan standar baku mutu juga
dimaksudkan untuk menjamin peninkatan produktivitas, daya guna dan hasil guna.
keselamatan, keamanan, kesehatan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
B. Saran
Berdasarkan
tulisan yang kami tulis, kami menyarankan kepada pemerintah indonesia untuk
segera mengeluarkan dan menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk
produk oli pelumas yang beredar di Indonesia karena dalam hal ini pelumas juga
menyangkut keselematan pengguna kendaraan sehingga perlu diwajibkan untuk
berlabel SNI.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Surat
Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Penyediaan dan Pelayanan
Pelumas.
Peraturan
Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Nasional Indonesia
Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 053 Tahun 206 Tentang Wajib Daftar
Pelumas Yang Dipasarkan di Dalam Negeri.
Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 753/MPP/Kep/11/2002
Tentang Standarisasi dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia.
Eddy
Herjanto dan Bendjamin L. Penerapan SNI oleh Pemangku Kepentingan. Prosiding
Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi 2006. Badan Standardisasi
Nasional. ISSN 0853- 9677
http://www.distrodoc.com/391327-analisis-efektivitas-kebijakan-penerapan-produk-ber-sni
diakses pada tanggal 9 Desember 2015 pukul 10.45 WIB.
http://www.bsn.go.id/main/bsn/isi_bsn/28
diakses pada tanggal 9 Desember Pukul 10.47 WIB
http://www.bsn.go.id/main/bsn/isi_bsn/17
diakses pada tanggal 9 Desember Pukul 10.50 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Standardisasi_Nasional
diakses pada tanggal 9 Desember 2015 pukul 11.00 WIB
http://lansida.blogspot.co.id/2011/03/penerapan-sni.html
diakses pada tanggal 9 Desember 2015 pukul 11.07 WIB
http://asdarkadir.blogspot.co.id/2012/01/penerapan-standar-nasional-indonesia.html
diakses pada tanggal 9 Desember 2015 pukul 11.20 WIB
[1]
Eddy Herjanto dan Bendjamin L. Penerapan SNI oleh Pemangku Kepentingan.
Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi 2006. Badan
Standardisasi Nasional. ISSN 0853- 9677
[2]
http://www.distrodoc.com/391327-analisis-efektivitas-kebijakan-penerapan-produk-ber-sni
diakses pada tanggal 9 Desember 2015 pukul 10.45 WIB.
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Standardisasi_Nasional diakses pada tanggal 9 Desember
2015 pukul 11.00 WIB
[6] http://lansida.blogspot.co.id/2011/03/penerapan-sni.html diakses pada tanggal 9 Desember
2015 pukul 11.07 WIB
[7] http://asdarkadir.blogspot.co.id/2012/01/penerapan-standar-nasional-indonesia.html diakses pada tanggal 9 Desember
2015 pukul 11.20 WIB
[8] http://paramadhita.com/news/12-oli-ilegal-menyerbu-pasar.html diakses pada tanggal 9 Desember
2015