Rabu, 09 Desember 2015

Tugas Hukum Perindustrian

IMPLEMENTASI PENERAPAN WAJIB LABEL SNI PADA PRODUK PELUMAS TERKAIT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARISASI NASIONAL INDONESIA







Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Hukum Perindustrian
Dosen Pengampu : Dona Budi Kharisma S.H., M.H.

Disusun Oleh:
Alexander Ivan C                   E0011013
Surya Mahendra S                  E0011306
Yoga Fais Luthfianto              E0011335
Agmona Lisbenk P                 E0012016
Elza Sylvania P                       E0012132
Fida Amira                              E0012154
Rizqiawan Wisnu P                 E0012340



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Masyarakat sebenarnya sangat memerlukan standar, hal ini karena berhubungan dengan masalah sosial dan ekonimi dalam kehidupan manusia termasuk kebutuhan akan sebuah produk yang berkualitas, kompatibel, aman, dan sesuai dengan ketuntuan. Dari segi perekonomian dan perdagangan internasional dengan adanya standar, produk yang dipasarkan pasarkan tentu memiliki kualitas dan dapat bersaing dengan produk yang tidak memiliki standar sehingga dapat meningkatkan peran perekonomian. Kebijakan standardisasi ditetapkan oleh pemerintah dan bertujuan serta bermanfaat untuk mengurangi risiko, meningkatkan efisiensi ekonomi secara menyeluruh, memberikan perlindungan terhadap pasar secara berkeadilan, perlindungan konsumen, meningkatkan kepercayaan konsumen, mengelola keanggotaan pada organisasi standardisasi internasiona dan regional.
Pada bidang perindustrian, sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap industri dalam negeri sekaligus perlindungan terhadap konsumen pengguna produk, pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi teknis berupa pemberlakuan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib. Produk terkait selanjutnya disebut sebagai produk SNI Wajib. Pemberlakuan SNI secara wajib berarti semua produk SNI terkait yang dipasarkan di Indonesia harus memenuhi persyaratan SNI, baik itu berasal dari produksi dalam negeri maupun impor. Pembuktian atas kesesuaian terhadap persyaratan SNI dilakukan melalui mekanisme Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPTSNI). Sertifikat dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional. Pengamatan Badan Standardisasi Nasional (BSN) tahun 2006 memberikan gambaran bahwa hanya 19,6% SNI yang diduga digunakan di pasar[1].
Hal ini mengindikasikan bahwa SNI belum bisa diterima secara efektif oleh kalangan industri. Selain itu sering ditemukan produk bertanda SNI yang mutunya tidak sesuai dengan persyaratan SNI. Agar supaya pemberlakuan SNI Wajib dapat berjalan secara efektif, diperlukan kajian secara komprehensif terhadap standar teknis itu sendiri dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi efektifitas pemberlakuannya, seperti aspek regulasi, manajemen, institusi dan dunia usaha (ekonomi). Keberhasilan program SNI dapat diukur melalui tingkat penerapannya di lapangan, misalnya digunakan sebagai acuan dalam mutu produk, proses produksi, metode uji, atau acuan dalam pendidikan/ pelatihan. Penerapan SNI perlu terus digalakkan baik oleh pemerintah maupun pihak terkait lainnya sehingga mutu produk di Indonesia semakin baik dan masyarakat terlindungi.
SNI yang telah dirilis oleh BSN ternyata belum mampu dijalankan sepenuhnya oleh pelaku industri dalam negeri dibuktikan dengan penerapan SNI yang hanya sekitar 20% dari total SNI yang ada. Oleh sebab itu, BSN menerapkan Genap SNI yang juga mendukung Perpres No.54 Tahun 2010 yang kemudian diperbarui menjadi Perpres No.70 Tahun 2012 yang intinya mensyaratkan penggunaan produk-produk dalam negeri yang berstandar dalam pengadaan barang/jasa di sektor pemerintah[2]. Namun sayangnya, evaluasi terhadap program tersebut belum dilakukan sehingga belum diketahui seberapa efektif program yang sudah dijalankan. Oleh sebab itu dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas pemberlakuan wajib label SNI terhadap produk pelumas yang selama ini belum berjalan dengan baik, dikarenakan banyaknya produk pelumas yang belum memiliki label SNI.

B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana penerapan Standardisasi Nasional terhadap suatu produk industri yang ada di Indonesia?
2.         Bagaimana implementasi penerapan label wajib Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) pada produk pelumas yang ada di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Penerapan Label Standar Nasional Indonesia Terhadap Produk Industri Yang Beredar Di Indonesia
Standar adalah dokumen yang memuat ketentuan dan/atau karakteristik dari suatu produk yang dibuat secara konsensus dan ditetapkan oleh lembaga berwenang. Sedangkan dalam PP No. 102 Tahun 2000, yang dimaksud standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Standar Nasional Indonesia (SNI) dibuat oleh pemerintah Indonesia sebagai standar nasional hasil consensus para pemangku kepentingan. SNI ini ditetapkan oleh Badan Standar Nasional (BSN)[3].
Pada prinsipnya standar dilakukan secara sukarela, khususnya dipergunakan oleh produsen sebagai acuan dalam pengendalian mutu internal atau untuk kepentingan promosi bahwa produk yang diproduksi memiliki kualitas baik dan terjamin. Penerapan dan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia adalah keputusan pimpinan instansi teknis yang berwenang untuk memberlakukan Standar Nasional Indonesia secara wajib terhadap produk apabila dipandang bahwa produk menyangkut dengan keselamatan, keamanan, kesehatan dan kelestarian lingkungan (K3l)[4]. SNI bertujuan untuk memperlancar transaksi perdagangan dan melindungi kepentingan konsumen serta meningkatan daya saing produk Indonesia di pasar global, karena pasar global menekankan pentingnya menerapkan standar mutu produk (BSN, 2005).
SNI adalah satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. SNI dirumuskan oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh BSN. SNI adalah dokumen berisi ketentuan teknis merupakan konsolidasi iptek dan pengalaman, aturan, pedoman, atau karakteristik dari suatu kegiatan atau hasilnya yang dirumuskan secara konsensus untuk menjamin agar suatu standar merupakan kesepakatan pihak yang berkepentingan dan ditetapkan berlaku di seluruh wilayah nasional oleh BSN utuk dipergunakan oleh pemangku kepentingan dengan tujuan mencapai keteraturan yang optimum ditinjau dari konteks keperluan tertentu. Standar memiliki beberapa kriteria antara lain:
1.        SNI tersebut harmonis dengan standar internasional dan pengembangannya didasarkan pada kebutuhan nasional termasuk industri.
2.        SNI yang dikembangkan untuk tujuan penerapan regulasi teknis yang bersifat wajib didukung oleh infrastruktur penerapan standar yang kompeten sehingga tujuan untuk memberikan perindungan kepentingan, keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat, atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan ekonomi dapat tercapai secara efektif dan efisien.
3.        Infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang penerapan standar tersebut memiliki kompetensi yang diakui di tingkat nasional/regional/internasional.
Salah satu tugas utama BSN adalah menetapkan proses perumusan suatu standar SNI. Perumusan standar oleh BSN mengacu pada aturan PSN 01-2007 tentang Pengembangan Standar Nasional Indonesia yang diacu dari ISO/IEC Directive Part 1: 2004, Procedure for the Technical Work. Proses pengembangan standar nasional oleh BSN direkomendasikan dan dilaksanakan sesuai PNPS (Program Nasional Perumusan SNI) dengan mengacu pada ketentuan dalam beberapa pedoman serta memperhatikan pula ketentuan PSN (Pedoman Standardisasi Nasional) beserta revisi-revisinya serta kepustakaan lain yang relevan. Standar harus lengkap dalam batas lingkup yang ditentukan, konsisten, jelas, dan akurat. Pedoman-pedoman tersebut diatas dimaksudkan agar tercipta keseragaman dan keteraturan dalam proses pengembangan standar yang selaras dengan praktek internasional[5].  
Pada dasarnya, semua bentuk kegiatan, jasa dan produk yang tidak memenuhi ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) diperbolehkan dan tidak dilarang. Meskipun begitu, kita juga tahu agar produk dalam negeri bisa bersaing secara sehat di dunia internasional maka sangatlah diperlukan penerapan SNI. Pemberlakuan SNI terhadap semua bentuk kegiatan dan produk dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Andaikata SNI ini diterapkan oleh semua bentuk kegiatan dan produk maka sangatlah mendukung percepatan kemajuan di negeri ini. Seperti halnya di negara-negara eropa yang produk-produknya memenuhi standar nasional bahkan internasional. Ketentuan mengenai standardisasi nasional telah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 102 Tahun 2000 berisi tentang Standardisasi Nasional yang ditetapkan oleh Presiden RI pada tanggal 10 November 2000. Ketentuan ini adalah sebagai pengganti PP No. 15/1991 tentang Standardisasi Nasional Indonesia dan Keppres No. 12/1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia.
Pada prinsipnya tujuan dari standardisasi nasional adalah[6]
1.    Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun kelestarian fungsi lingkungan hidup. 
2.     Membantu kelancaran perdagangan. 
3.     Mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan.
4.    Beberapa point yang berkaitan dengan penerapan SNI adalah :
5.    Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau mengedarkan barang/jasa yang tidak memenuhi SNI wajib;
6.    Pelaku usaha yang sudah memperoleh sertifikat produk atau tanda SNI dilarang memproduksi dan mengedarkan barang/jasa yang tidak memenuhi SNI.
7.    SNI dikenakan sama, baik untuk produksi dalam negeri maupun impor;
8.    Barang/jasa impor yang SNI-nya diberlakukan wajib harus dilengkapi sertifikat :
a.  diterbitkan lembaga sertifikasi atau laboratorium yang diakreditasi KAN;
b.  atau lembaga atau laboratorium negara pengekspor yang diakui KAN;
c.  pengakuan oleh KAN didasarkan pada perjanjian bilateral atau multilateral.
9.     Bila Barang/jasa impor tidak dilengkapi sertifikat, pimpinan instansi teknis dapat menunjuk lembaga sertifikasi/laboratorium baik diluar negeri/dalam negeri yang telah diakreditasi KAN untuk melakukan sertifikasi;
10.     Pemberlakuan SNI wajib dinotifikasikan oleh BSN ke WTO 2 bulan sebelum diberlakukan secara efektif;
11.     BSN menjawab pertanyaan dari luar negeri setelah mendapat masukan dari instansi teknis;
12.     Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberlakuan SNI diatur dengan keputusan pimpinan instansi teknis yang berwenang.


B.       Analisis Mengenai Implementasi Penerapan Wajib Label SNI Terhadap Produk Pelumas Yang Beredar Di Indonesia
Pertumbuhan penggunaan kendaraan bermotor masyarakat indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Seiring dengan perkembangan tersebut, tentu kebutuhan akan minyak pelumas juga akan semakin bertambah. Diprediksikan, lebih dari 650 juta liter pelumas pertahun dibutuhkan oleh konsumen Indonesia. Hal ini dikarenakan fungsi dari minyak pelumas yang sangat penting dalam merawat mesin dan menentukan lamanya kenderaan itu dapat bertahan.
Dengan keadaan yang demikian tersebut, maka persaingan untuk memasarkan minyak pelumas di Indonesia tentu saja akan semakin marak dengan melihat pangsa pasar yang cukup menjanjikan. Apalagi setelah diberlakukannya surat keputusan presiden Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyediaan dan Pelayanan Pelumas maka Pertamina tidak memiliki hak monopoli lagi terhadap suplai minyak pelumas ke dalam pasar domestik dan minyak pelumas asing dapat masuk ke pasar domestik melalui importir. Minyak pelumas impor dapat masuk ke pasar Indonesia tanpa harus meminta izin dari Pertamina, cukup dengan memperoleh Nomor Pelumas Terdaftar (NPT). Berdasarkan peraturan menteri energi dan sumber daya mineral No. 053 Tahun 2006 tetntang wajib daftar pelumas yang dipasarkan di dalam negeri, pada pasal 3 menjelaskan bahwa “standar dan mutu (spesifikasi) pelumas disusun dengan mengacu pada karakteristik dan parameter standar nasional Indonesia (SNI) pelumas.” Namun dalam kenyataannya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki standar nasional Indonesia pelumas yang seharusnya dijadikan acuan untuk mengeluarkan NPT.
Di Indonesia terdapat 19 LS-Pro (lembaga sertifikasi produk) yang telah diakreditasi oleh KAN (Komite Akreditasi Nasional) untuk melakukan kegiatan sertifikasi produk penggunaan tanda SNI. Tersedia pula 21 laboratorium penguji untuk melakukan pengujian standar minyak pelumas yang hingga saat ini belum dimanfaatkan. Hal tersebut dibuktikan dengan beredarnya 220 merek pelumas yang tidak satupun melalui proses pengecekan/sertifikasi kesesuaian produk SNI karena belum ada acuan SNI. Selain itu, sedikitnya 50% dari 1,2 juta kiloliter produk pelumas kenderaan bermotor yang beredar di pasaran bermutu rendah karena tidak adanya standar yang jelas terhadap produk lokal maupun impor yang beredar di pasaran minyak pelumas Indonesia. Ditambahkan lagi dengan adanya pemalsuan minyak pelumas yang beredar sehingga dapat merugikan konsumen.
Data-data menunjukkan bahwa sebanyak 50 sampai 60 persen pelumas yang beredar di Indonesia adalah palsu. Hal tersebut merupakan hasil dari investigasi MIAP (masyarakat Indonesia anti pemalsuan). Hingga kini hampir semua merek pelumas di Indonesia dipalsukan. pelumas palsu tersebut separuh lebihnya atau mencapai 60% beredar di pulau Jawa sebagai pasar yang paing besar. Oknum yang melakukan pemalsuan tersebut tidak hanya memalsukan produk pelumas buatan dalam negeri saja tetapi juga beberapa pelumas impor yang laku di pasaran. Motif pemalsuan juga semakin beragam dari mulai mencampur pelumas asli dengan zat aditif, mengolah atau memasak kembali pelumas bekas, hingga mengemas pelumas palsu dengan menggunakan kaleng bekas suatu merek terkenal ataupun menempeli kemasan dengan stiker registrasi palsu. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh LPEM FE-UI dan MIAP pada tahun 2005, menunjukkan total kerugian yang dialami negera akibat pemalsuan pelumas mencapai Rp. 50 Miliar. Angka tersebut belum termasuk kerugian lain di antaranya hilangnya kesempatan kerja bagi ratusan orang, kerusakan mesin dan lain-lain. Meski pemalsuan pelumas terjadi di hampir semua negara tetapi tingkat pemalsuan di Indonesia menduduki peringkat 2-3 di dunia setelah China.[7]
Pemberian label nomor pelumas terdaftar (NPT) yang ditetapkan pemerintah sejak tahun 1997 dan wajib dilakukan oleh pemilik merek dianggap masih belum efektif untuk menekan angka pemalsuan pelumas. Sebab, terbukti sampai kini banyak produk pelumas berkualitas rendah terus beredar di Indonesia. Disamping itu, NPT tidak dapat dinotifikasi ke WTO. Tentu, sangatlah berbeda dengan SNI wajib. Jadi wajar bila kewajiban pencantuman NPT di setiap produk masih dipandang sebelah mata oleh kalangan produsen pelumas. Salah satu upaya memberantas pelumas bermasalah adalah dengan menerbitkan standar nasional Indonesia untuk produk minyak pelumas. Bila pelumas diwajibkan mendapat SNI, maka pelumas ilegal yang dilegalkan dengan NPT praktis bisa dikurangi.
Pencantuman NPT pada setiap produk oli merupakan ketentuan dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas) yang diberlakukan sejak tahun 1998. Gunanya yakni untuk mengatur produk pelumas yang beredar di Indonesia, salah satunya terkait dengan kualitas produk yang dipasarkan.  Persoalannya untuk memperoleh NPT itu lamanya bukan main, bisa enam bulan, bahkan satu tahun. Demi mendapatkan NPT, untuk satu sample produk harus disetor Rp 4 juta.  Tes untuk mendapatkan NPT bagi minyak pelumas itu meliputi uji fisik, kimia, dan kinerja oli.
Dalam uji fisik (physical property) diambil data mengenai berat jenis, kekentalan, viscosity index, titik nyala, titik beku, warna, serta kemudahan pelumas mengalir di suhu rendah. Dalam uji kimia (chemical test), data yang diambil di antaranya adalah kandungan abu, kandungan logam, dan kandungan zat additive. Tiap produsen mesti mendaftarkan semua produk olinya yang akan dilempar ke pasar, mengingat banyak varian produk yang diproduksi untuk jenis kendaraan yang berbeda. Apabila tidak lolos uji ini, produk oli tadi harus mengulangi proses ini dari awal sampai lolos sesuai ketentuan yang disyaratkan. 
Adapun mekanisme pengurusan NPT, pertama-tama adalah membuat pengajuan kepada Dirjen Migas. Permohonan itu kemudian diteruskan ke Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) untuk diuji. Selanjutnya keluar rekomendasi atas produk tersebut dari Dirjen Migas. Proses pengujian tersebut melalui sidang dan pengujian mutu berdasarkan spesifikasi produknya.  Sesungguhnya, proses untuk mendapatkan NPT hanya memerlukan waktu 2 bulan-3 bulan saja. Hal itu sesuai dengan SK dari Dirjen Migas bahwa lamanya proses untuk mendapatkan NPT dari sejak pengambilan sample hanya 2 bulan[8]
Di sisi lain, pengawasan dari pemerintah sendiri cukup longgar, sehingga banyak produsen nekat menjual oli tanpa NPT. Tanpa nomor registrasi itu, produk mereka tetap laku di pasar. Ciri umum oli ilegal itu sudah pasti tidak mencantumkan NPT pada kemasannya. Pada kemasan kecil (lithos/literan), nomor registrasi itu ditempatkan di bodi kemasan. Sedangkan untuk kemasan berbentuk drum, NPT dicantumkan di atas dan samping drum.  Jika ada oli yang harganya murah, patut dicurigai itu pelumas ilegal. Harga oli tanpa NPT jauh lebih murah dibandingkan dengan yang dilengkapi NPT. Hal itulah yang meresahkan produsen oli ber-NPT. Bisa-bisa, oli mereka tidak laku di pasaran. 
Oleh karena itulah kami menyarankan pemerintah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk oli yang beredar di Indonesia. Apalagi, mutu produk minyak pelumas yang telah memperoleh NPT tak dapat dijamin secara konsisten. Sebab, pemohon boleh mengajukan sample produknya sampai tiga kali, hingga lolos tes. 
Penetapan standar baku mutu pelumas dimaksudkan untuk mendukung terwujudnya jaminan mutu barang, jasa, proses, sistem atau personal minyak pelumas sehingga dapat memberikan kepercayaan kepada pelanggan dan pihak terkait bahwa suatu organisasi, individu, barang, dan/atau jasa yang diberikan dalam hal ini minyak pelumas telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Penerapan standar baku mutu juga dimaksudkan untuk menjamin peninkatan produktivitas, daya guna dan hasil guna.
Penerapan standar baku mutu pelumas dimaksudkan sebagai rujukan dalam penerapan standar nasional Indonesia (SNI) pelumas. Dalam hal penentuan standar baku mutu minyak pelumas yang direkomendasikan melalui suatu keputusan menteri yang dikeluarkan oleh meteri energi dan sumber daya mineral (ESDM), dengan memperhatikan perlindungan terhadap konsumen, tenaga kerja, dan masyarakat dalam hal keselamatan, keamanan, kesehatan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Oleh karena itu, standar baku mutu perlu ditetapkan terlebih dahulu sebagai patokan dalam menstandarisasi pelumas yang akan beredar di pasaran Indonesia.
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen, tepatnya pasal 29 -30 diterangkan mengenai pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. Begitu pun pada PP No. 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Nasional Indonesia pada pasal 22-23 yang menerangkan bahwa pembinaan dan pengawasan standarisasi, baik itu dalam kaitannya dengan pembinaan proses standarisasi maupun terhadap pengawasan pada pelaku usaha yang telah mendapatkan standarisasi produk. Adanya kesamaan dalam hal pembinaan dan pengawasan pada kedua lembaga itu memberikan korelasi bahwa dengan adanya koordinasi pada lembaga standarisasi dan lembaga perlindungan konsumen dapat mengefisienkan kinerja kedua lembaga dalam menjalankan fungsi pengawasan serta pembinaan terhadap minyak pelumas.
Dengan demikian tampak jelas bahwa dengan adanya standar nasional Indonesia (SNI) maka tingkat pemalsuan pelumas yang terjadi di Indonesia akan berkurang dengan melihat standar yang diterapkan dan lembaga pengawas yang mengawasi pelaksanaan standarisasi tersebut sehingga konsumen dapat lebih terlindungi dari pelumas dengan mutu yang rendah ataupun pelumas dengan merek palsu demi mencapai Indonesia yang maju dan berkembang menuju arah yang lebih baik.





BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
1.      Pemberlakuan dan penerapan SNI terhadap semua bentuk kegiatan dan produk dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Andaikata SNI ini diterapkan oleh semua bentuk kegiatan dan produk maka sangatlah mendukung percepatan kemajuan di negeri ini. Seperti halnya di negara-negara eropa yang produk-produknya memenuhi standar nasional bahkan internasional. Ketentuan mengenai standardisasi nasional telah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 102 Tahun 2000 berisi tentang Standardisasi Nasional yang ditetapkan oleh Presiden RI pada tanggal 10 November 2000.
2.      Wacana diwujudkanya penetapan label SNI terhadap produk Pelumas dimaksudkan untuk mendukung terwujudnya jaminan mutu barang, jasa, proses, sistem atau personal minyak pelumas sehingga dapat memberikan kepercayaan kepada pelanggan dan pihak terkait bahwa suatu organisasi, individu, barang, dan/atau jasa yang diberikan dalam hal ini minyak pelumas telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Penerapan standar baku mutu juga dimaksudkan untuk menjamin peninkatan produktivitas, daya guna dan hasil guna. keselamatan, keamanan, kesehatan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
B.       Saran
Berdasarkan tulisan yang kami tulis, kami menyarankan kepada pemerintah indonesia untuk segera mengeluarkan dan menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk oli pelumas yang beredar di Indonesia karena dalam hal ini pelumas juga menyangkut keselematan pengguna kendaraan sehingga perlu diwajibkan untuk berlabel SNI.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Surat Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Penyediaan dan Pelayanan Pelumas.
Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standarisasi Nasional Indonesia
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 053 Tahun 206 Tentang Wajib Daftar Pelumas Yang  Dipasarkan di Dalam Negeri.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 753/MPP/Kep/11/2002 Tentang Standarisasi dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia.
Eddy Herjanto dan Bendjamin L. Penerapan SNI oleh Pemangku Kepentingan. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi 2006. Badan Standardisasi Nasional. ISSN 0853- 9677
http://www.bsn.go.id/main/bsn/isi_bsn/28 diakses pada tanggal 9 Desember Pukul 10.47 WIB
http://www.bsn.go.id/main/bsn/isi_bsn/17 diakses pada tanggal 9 Desember Pukul 10.50 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Standardisasi_Nasional diakses pada tanggal 9 Desember 2015 pukul 11.00 WIB
http://lansida.blogspot.co.id/2011/03/penerapan-sni.html diakses pada tanggal 9 Desember 2015 pukul 11.07 WIB



[1] Eddy Herjanto dan Bendjamin L. Penerapan SNI oleh Pemangku Kepentingan. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi 2006. Badan Standardisasi Nasional. ISSN 0853- 9677
[3] http://www.bsn.go.id/main/bsn/isi_bsn/28 diakses pada tanggal 9 Desember Pukul 10.47 WIB
[4] http://www.bsn.go.id/main/bsn/isi_bsn/17 diakses pada tanggal 9 Desember Pukul 10.50 WIB.
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Standardisasi_Nasional diakses pada tanggal 9 Desember 2015 pukul 11.00 WIB
[6] http://lansida.blogspot.co.id/2011/03/penerapan-sni.html diakses pada tanggal 9 Desember 2015 pukul 11.07 WIB